News...

Hari Baik.
Sejak dahulu orang sudah tertarik untuk mengetahui apa yang akan terjadi di hari kemudian, sehingga ramal-meramal ini sudah lama dikenal sebelum penanggalan Masehi dikenal.  Kita memang tidak menyangkal mengenai ramalan, tetapi menggantungkan hidup begitu saja pada hasil dari suatu ramalan, kurang bijaksana.
Orang-orang boleh saja melihat pada 'hari baik', namun keberuntungan tidak selalu mereka dapatkan. Keberuntungan itu sendiri sebenarnya adalah bintang keberuntungan seseorang. Apa yang bisa dicapai oleh sekedar posisi bintang?

Keberhasilan seseorang tidak ditentukan oleh ramalan atau perhitungan hari baik. Berkah berupa keberhasilan bukan anugerah atau karunia yang diberikan semata, tetapi berkah ini merupakan hasil dari suatu usaha dan kerja keras. Bila kita mengharapkan berkah, ada sesuatu yang harus dilakukan. Dalam berbagai agama terdapat ajaran yang membabarkan dengan jelas tindakan-tindakan yang harus dilakukan bagi mereka yang mengharapkan berkah. Mulai dari hati-hati dalam memilih pergaulan, pengembangan kualitas diri dengan peningkatan pengetahuan dan ketrampilan serta melakukan kebajikan dengan mengendalikan diri dan peduli sesama. Umumnya, agama tersebut tidak saja berisi wejangan hidup penuh berkat duniawi, melainkan juga mengarahkan kita agar berhasil untuk terbebas secara total dari penderitaan yang bakal timbul karena berkat duniawi tersebut.

Seseorang yang telah menyatakan dirinya berlindung kepada Kebenaran Sejati, maka akan memandang semua hari adalah hari yang baik ketika ia dapat mengisinya dengan perbuatan baik. Walaupun semua hari adalah baik, tetapi tidak dapat dihindari bagi seseorang adakalanya akan mengalami kerugian, celaan, nama buruk dan penderitaan, karena kondisi-kondisi Hukum Sebab-Akibat ini berlaku di dunia.

Tidak mengait-ngaitkan apa yang terjadi dengan perhitungan hari atau ramalan merupakan satu tanda yang menunjukkan kualitas keyakinan seseorang pada Kebenaran Sejati. Menurut Kebenaran Sejati, apapun yang terjadi merupakan akibat dari apa yang pernah kita perbuat, kita adalah pewaris kamma kita sendiri. Keyakinan pada Dhamma ini akan membebaskan seseorang dari keraguan dan kekhawatiran, inilah sifat Kebenaran Sejati yang membebaskan.

“Makhluk apapun yang berperilaku benar lewat tubuh, ucapan, dan pikiran sepanjang pagi hari, maka pagi hari yang bahagia akan menjadi milik mereka; Makhluk apapun yang berperilaku benar lewat tubuh, ucapan, dan pikiran sepanjang siang hari, maka siang hari yang bahagia akan menjadi milik mereka; Makhluk apapun yang berperilaku benar lewat tubuh, ucapan, dan pikiran sepanjang malam hari, maka malam hari yang bahagia akan menjadi milik mereka”.

 

Dalam hidup ini, tentunya kita menginginkan hidup yang bahagia damai dan tentram. Tetapi apakah kenyataannya kita sudah benar-benar merasakan kebahagiaan yang sesungguhnya? Tentunya kita sulit untuk menjawabnya. Karena kenyataannya, apa yang dilakukan, belum tentu mendapatkan atau membuahkan kebahagiaan yang berarti. Terkadang kita sudah merasa mendapatkan sesuatu yang diinginkan atau yang didambakan. Kenyataannya apa yang diinginkan itu tidak membawa ke arah kebahagiaan yang sesungguhnya, malahan sebaliknya, apa yang dilakukan itu membawa penderitaan, bukan kebahagiaan. Sungguh membingungkan, apa yang dicita-citakan malahan membawa seseorang ke penderitaan. Memang awalnya bahagia, tetapi akhirnya kebahagiaan itu berakhir dengan penderitaan.

Memang, kalau membicarakan kebahagiaan, semua orang sangat senang. Karena, siapa yang mau hidupnya selalu menderita? Rasanya tidak ada yang mau, kalau hidupnya menderita. Masalahnya, apakah cara untuk membuat kebahagiaan itu sudah benar-benar sesuai dengan kebenaran itu sendiri? Lalu apakah kebahagiaan yang kita kejar itu benar-benar sudah sesuai dengan ajaran Kebenaran Sejati?
Kebahagiaan  yang selalu dinginkan, dirindukan, dan didambakan oleh banyak orang, yaitu mendapatkan kesuksesan, usaha maju, kekayaan, ketampanan, dan sebagainya. Hal tersebut adalah bentuk-bentuk pada umumnya yang selalu dinanti-nanti oleh kebanyakan orang. Siapa yang ingin mendapatkan hal tersebut di atas? Rasanya semua mau, karena hal tersebut akan membawa kemajuan dan kesuksesan demi tercapainya hidup yang bahagia, tanpa kekurangan.
Kebahagiaan mendapat, tidaklah jaminan untuk membebaskan diri dari derita. Karena kebahagiaan mendapat itu, jikalau kita tidak hati-hati, maka apa yang didapat itupun berubah menjadi belenggu. Ketika kita berpisah dan tidak mendapat apa yang dicita-citakan, maka kita akan menderita, kecewa serta bersedih. Makanya, ketika seseorang mendapatkan sesuatu yang menyenangkan, di sana sudah tertanam penderitaan. Memang sepintas menyenangkan, tetapi sesungguhnya apa yang didapat, tidaklah permanen, dan seseorang cenderung untuk melekatinya. Ketika kebahagiaan itu hilang, timbullah penderitaan, kekecewaan dan penyesalan.

Pada dasarnya seseorang yang cenderung mengikuti kesenangan indria, pada akhirnya berakhir dengan penderitaan dan terus datang silih berganti. Senang hilang, penderitaan datang, penderitaan hilang, bahagia datang. Begitulah hidup.
Jadi pada umumnya apa yang didapatkan, semua itu termotivasi untuk kesenangan saja, bukan berpikiran bahwa apa yang dicarinya itu demi kebutuhan, bukan hanya kesenangan semata. Mendapatkan apa yang dicita-citakan memang hal yang wajar. Tetapi, di sana setelah mendapatkan kita harus ekstra hati-hati agar kita tidak digerogoti oleh kesenangan itu sendiri, yang nantinya akan berubah menjadi penderitaan. Jadi kita juga harus memperhatikan kebahagiaan yang benar, yaitu bahagia karena memberi.
Dalam hal ini adalah bukan memberi yang didasari untuk mendapatkan, tetapi memberi yang didasari oleh niat yang ingin melepas dengan tulus ikhlas atas apa yang dimiliki untuk makhluk lain yang membutuhkan. Tetapi kebanyakan orang menganggap memberi adalah untuk mendapatkan. Atau bahkan ada yang merasa, dengan memberi berarti kehilangan. Sulit memang untuk dilakukan, tetapi kita harus melatih untuk memberi atas dasar pelepasan bukan untuk mendapatkan. Kalau memberi atas dasar mendapatkan, di sana masih ada kekikiran dan keserakahan, dan jika kehilangan apa yang dimiliki, maka orang tersebut akan menderita.
Jadi, memberi atas dasar untuk melepaskan inilah yang sesungguhnya akan membuat hidup kita tambah bahagia, karena di samping kita mendapat, kita juga latihan untuk melepas apa yang kita miliki untuk makhluk lain yang membutuhkan.

seorang Suciwan mengatakan, ”Seandainya para makhluk tahu, seperti apa yang Aku tahu, buah dari perbuatan memberi serta berbagi, mereka tidak akan makan sebelum memberi; mereka tidak akan membiarkan noda-noda kekikiran menguasai mereka dan mengakar di dalam pikiran. Bahkan seandainya makanan itu adalah makanan terakhir, suapan terakhir, mereka tidak akan menikmatinya tanpa membaginya seandainya ada orang yang diajak berbagi”.

Agar hidup terasa seimbang, kebahagiaan melepas amat penting, di samping bahagia karena mendapat.